Radikalisme dan Kerentanan Pekerja Migran

Wahyu Susilo 

(Direktur Eksekutif Migrant CARE)

Tulisan ini pernah dimuat pada Koran Tempo 9 Oktober 2019

Beberapa waktu lalu, ditengah hiruk pikuk demonstrasi  menolak rancangan undang-undang bermasalah, terselip dua berita yang menggelisahkan mengenai kerentanan pekerja migran Indonesia terhadap radikalisme dan terorisme. 

Menurut media Singapura Channel News Asia, pada 23 September lalu tiga  perempuan pekerja migran Indonesia ditahan otoritas Singapura. Mereka dituduh melakukan aktivitas yang membahayakan keamanan Singapura karena diduga mendanai terorisme. Ketiganya, yang sudah bekerja sekitar 6 sampai 13 tahun, terpapar paham radikalisme secara online dari informasi-informasi melalui berbagai platform media sosial. 

Pada hari yang sama, menurut  ANTARA, tiga pekerja migran Indonesia di kawasan Lahad Datu, Sabah, Malaysia Timur diculik oleh kelompok bersenjata Philipina Selatan. Ketiga laki-laki ini diculik ketika mereka sedang mencari ikan dan udang di kawasan perairan Lahad Datu, Sabah Malaysia Timur yang berbatasan langsung dengan wilayah Philipina. 

Dua peristiwa tersebut makin mengkonfirmasi tesis bahwa pekerja migran kini menjadi salah satu kelompok yang paling terkena dampak radikalisme, baik sebagai korban maupun pelaku.  Kajian mendalam tentang kerentanan pekerja migran Indonesia sudah banyak dilakukan.  Demikian pula kajian tentang radikalisme dan kejahatan terorisme di Indonesia. Namun kajian tentang kerentanan pekerja migran Indonesia yang terpapar radikalisme belum banyak dilakukan.

Migrasi dan Terorisme sebenarnya berkaitan erat ketika dibicarakan dalam kerangka kejahatan terorganisir lintas negara. Migrasi atau lalu lintas manusia melewati tapal batas negara adalah aktivitas pergerakan manusia yang memiliki kerentanan diboncengi atau dibajak oleh kejahatan lintas batas negara antara lain perdagangan manusia, perdagangan narkotika, perdagangan senjata, ataupun terorisme.

Dalam konteks ini, setidaknya, dalam satu dekade ini, para pekerja migran Indonesia menghadapi kerentanan yang begitu mengkhawatirkan, terutama menjadi korban kejahatan perdagangan manusia, atau dijebak menjadi kurir narkotika. Selain itu, mereka yang terjebak dalam sindikat perdagangan manusia rentan dipaksa melakukan kejahatan politik tingkat tinggi seperti yang dialami Siti Aisyah di Malaysia.

Setidaknya dalam lima tahun terakhir ini, muncul ancaman kerentanan baru, yaitu terpapar paham radikalisme, yang merupakan bagian dari kejahatan terorisme.  

Sebenarnya, hubungan antara  radikalisme dan mobilitas lintas negara bukan hal yang baru. Menurut Solahudin (2011)  yang mengkaji soal jihadisme kelompok salafi di Indonesia, Abu Bakar Baasyir dan Abdullah Sungkar ketika dalam pelarian di Malaysia melakukan kaderisasi sekaligus radikalisasi terhadap beberapa pekerja migran Indonesia di Malaysia. Relasi antar bangsa yang masif juga dilakukan dengan pengiriman warga negara Indonesia untuk berjihad di Afghanistan dan juga pelatihan militer di Libya. Warga negara Indonesia juga dikirim untuk bergabung dengan kelompok perlawanan muslim di Mindanao, Philipina Selatan.

Kecenderungan baru adalah meningkatnya keterlibatan kaum perempuan pekerja migran dalam aktivitas terorisme yang tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga negara tempat mereka bekerja atau di wilayah konflik, seperti Suriah dan Mindanao.

Peristiwa bom Surabaya pada Mei 2018 mengejutkan  karena salah satu pelaku utamanya perempuan dan melibatkan keluarga (anak-anaknya). Namun, dalam kajian Migrant CARE, dua tahun sebelumnya, D, perempuan yang pernah bekerja di Singapura dan Taiwan itu, ikut merancang bom panci yang hendak diledakkan di Istana Merdeka. Ada pula I, perempuan yang bekerja di Hongkong  dengan pelaku utama D, mantan pekerja migran yang pernah bekerja di Singapura dan Taiwan. Selain itu, teridentifikasi pula I, pekerja migran yang bekerja di Hong Kong, yang terpapar paham radikalisme melalui media sosial sehingga menjadi penggerak dan pendana aksi-aksi terorisme di tanah air. 

Dalam kajian Radikalisme Buruh Migran Indonesia di Hong Kong IPAC (2017) menyingkap proses radikalisasi pekerja migran perempuan Indonesia disana serta  menelusur pada jejaring dan proses pembajakan organisasi-organisasi pekerja migran. Tumbuhnya organisasi pekerja migran yang berorientasi pada keagamaan dibarengi dengan berkembangnya proses “hijrah” mereka dari masa lalunya yang dianggap kelam. Tentu saja maraknya  organisasi pekerja migran berorientasi keagamaan ini tidak secara otomatis mendorong radikalisme. Yang harus mendapat perhatian serius adalah proses pembajakan dan pemboncengan untuk menyusupkan ide-ide radikalisme.  

Situasi ini hendaknya menjadi peringatan penting bagi para pemangku kepentingan terkait penanggulangan terorisme dan perlindungan pekerja migran Indonesia. Diperlukan langkah-langkah yang komprehensif agar tidak terjadi perluasan keterpaparan dan kerentanan pekerja migran terhadap paham radikalisme. 

Pendekatan keamanan tidak memadai lagi untuk situasi tersebut karena siklusnya dimulai dari daerah asal dan daerah tujuan. Maka tahapan-tahapan pencegahannya juga mengikuti siklus migrasi, melibatkan peran aktif pemerintah lokal, komunitas lokal, kementerian dan lembaga yang terkait dengan migrasi tenaga kerja, perwakilan Indonesia di luar negeri dan organisasi pekerja migran. Langkah ini juga akan makin menegaskan tanggungjawab negara untuk mewujudkan migrasi aman untuk pekerja. 

Comments