oleh Buyung Ridwan Tanjung.
Pemilu 2019
sebagai pestanya rakyat Indonesia tampak bergaung keras hingga daratan Eropa.
Layaknya hajatan, berbagai rancangan agenda telah disiapkan. Mulai dari bis
gratis di terminal angkutan umum ke tempat pemungutan suara, hingga sajian berbagai
acara hiburan kesenian. Belanda, sebagai pusatnya kaum diaspora asal Indonesia
di Eropa, tidak luput dari kesenangan ini.
Meski hanya
berkesempatan memilih calon presiden dan wakil presiden serta anggota legislatif dari daerah
pemilihan dua DKI Jakarta saja, namun
masing-masing tim sukses telah memulai dan mencapai puncaknya di bulan terakhir
masa kampanye ini. Tidak kurang berbagai tim sukses bergantian hadir mengisi
berbagai kampanye di DenHaag. Sasaran utama mereka jelas, yaitu para pemilih
dari kalangan pekerja migran Indonesia. Namun demikian dari kampanye
masing-masing tim sukses, tampak masih minimnya informasi tentang kebutuhan
atau kesulitan yang dialami oleh para pekerja migran. Dengan minimnya informasi
ini, maka solusi yang ditawarkan dalam program-program tim sukses tersebut juga
masih kurang.
Menurut
perhitungan sementara Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) di Den Haag, Warga
Negara Indonesia yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) di Belanda
sebanyak 11.744 orang, yang terdiri dari 9.700 orang akan memilih langsung di TPS
dan 2.044 orang melalui pelayanan pos surat. Dengan asumsi ada kurang lebih sekitar
1600 pelajar Indonesia sedang studi di Belanda (Nuffic Neso Indonesia, 2019);
maka ada sekitar sepuluh ribu suara pekerja Indonesia yang sedang diperebutkan
pada tanggal 13 April nanti (pemilu di Belanda lebih awal dibanding di tanah
air).
Memperebutkan
suara dari para buruh migran Indonesia tidak lepas dari program-program yang
dilemparkan kepada mereka. Program dari masing-masing capres/cawapres tentu
saja berhubungan dengan isu-isu yang dihadapi oleh para pekerja migran
tersebut. Paling tidak ada tiga isu yang akan mendapatkan simpati bagi para
pekerja migran tersebut. Pertama adalah mengenai perlindungan bagi mereka,
pekerja migran di Belanda; kedua adalah mengenai peluang kerja saat pulang ke
negara asal (reintegrasi) dan ketiga
adalah masalah kesejahteraan keluarga yang ditinggalkan di Indonesia.
Dari ketiga isu
tersebut yang pertama adalah memang yang utama. Sebagaimana diketahui, bahwa
pekerja migran Indonesia di Belanda terpisah diantara pekerja berdokumen dan
tidak berdokumen (undocumented workers).
Pekerja berdokumen adalah mereka yang bekerja sesuai dengan dokumen yang memang
mengijinkan untuk bekerja di Belanda, sedangkan mereka yang tidak berdokumen
tentu saja berlaku sebaliknya. Mereka punya paspor sebagai warga negara
Indonesia, namun tidak didukung oleh dokumen-dokumen yang menyatakan mereka
bisa bekerja di Belanda. Jumlah pekerja tidak berdokumen ini cukup signifikan
untuk mempengaruhi perolehan suara pada tiap ajang Pemilihan Presiden. Kebijakan
pemerintah Indonesia melalui kedutaan besar, terhadap semua warga negara
Indonesia di Belanda akan menentukan perolehan suara. Khususnya bagi pekerja
yang tidak berdokumen, penilaian kebijakan Kedutaan besar saat menangani
kasus-kasus terkait pekerja tidak berdokumen akan dilihat sebagai cermin
kebijakan pemerintah pusat. Penindakan hukum bagi para pelaku penipuan yang
dilakukan oleh para agen penyalur tenaga kerja, perdagangan manusia, dan
penyediaan penampungan yang aman bagi para korbannya merupakan penilaian-penilaian
tersebut. Penilaian yang lain adalah birokrasi di kedutaan besar, terutama
dalam hal perpanjangan masa berlakunya paspor. Perlakuan yang berbeda antara
pekerja yang tidak berdokumen dengan yang lainnya, akan dirasa sebagai
diskriminasi. Mengingat paspor adalah bagian dari hak mereka selaku warga
negara Indonesia.
Isu yang kedua
adalah masalah reintegrasi terutama
kesempatan kerja ketika pulang ke Indonesia. Meski mereka mendapat upah yang
lebih tinggi dibandingkan bekerja di Indonesia, bukan berarti para pekerja
tidak berdokumen akan selamanya tinggal di Belanda. Kesempatan untuk bekerja
lebih aman di dalam negeri akan menjadi alasan prioritas untuk pulang ke tanah
air. Disamping itu, peluang kerja yang luas, persaingan usaha yang sehat, dan
upah yang tidak terlalu rendah di tanah air akan menjadi pertimbangan bagi para
pekerja migran itu.
Isu ketiga
adalah isu kondisi kesejahteraan keluarga di tanah air. Para pekerja migran
sangat peduli terhadap masalah kesejahteraan keluarga yang ditinggalkannya.
Ketika keluarga yang ditinggalkannya dalam keadaan cukup atau dengan kata lain;
kondisi sandang, pangan dan papan terjamin; maka hal tersebut akan berpengaruh
terhadap kenyamanan bekerja para migran saat di luar negeri. Desa-desa yang
peduli buruh migran yang dibangun antara Lembaga Swadaya Masyarakat dengan
pemerintah saat ini, dianggap sebagai bentuk konsep perlindungan bagi anggota
keluarga yang ditinggalkannya di tanah air.
Demikian pula dengan cerita-cerita angka kemiskinan yang menurun,
harga-harga kebutuhan pokok terjangkau atau bahkan sebaliknya, akan sedikit
banyak mempengaruhi pola pikir mereka terhadap calon yang dipilih. Patut
dipahami bahwa para pekerja migran asal Indonesia di Belanda relatif lebih
mudah untuk masalah akses informasi. Informasi yang akurat dari tanah air dan
mampu membedakan mana yang hoax dan
mana yang bukan, berpengaruh pula terhadap pilihan mereka.
Dengan demikian,
dari ketiga isu tersebut bisa kita dapatkan gambaran tentang apa saja kebutuhan
para pekerja migran asal Indonesia yang tinggal di Belanda. Ketiganya disatukan
dalam satu benang merah yaitu perlindungan terhadap seluruh warga negara
Indonesia saat mereka tinggal di Belanda tanpa membedakan status pekerja
berdokumen maupun tidak berdokumen. Dengan demikian, program-program yang
dirasakan mampu menawarkan solusi bagi kebutuhan mereka, pastinya akan mendapat
tempat untuk dipilih pada Pemilu 2019 ini.
Buyung Ridwan Tanjung
Groningen, musim semi 2019
Comments
Post a Comment