Dilema Paspor bagi WNI Tak Terdokumentasi (OTT) Di Belanda

oleh Yasmine Soraya

Lima tahun lalu, suatu gebrakan besar telah dibuat oleh Menteri Luar Negeri RI yang pada waktu itu menjabat sebagai Duta Besar RI untuk Kerajaan Belanda, Ibu Retno Marsudi. Beliau memperjuangkan agar setiap WNI termasuk WNI OTT mendapatkan hak identitas mereka berupa paspor. Hal ini diputuskan dengan SE Dirjen Imigrasi No. IMI-0120-GR-01.10 tahun 2014 mengenai persyaratan untuk mendapatkan PASSPORT Bagi WNI OTT atau BMI tanpa dokumen di Belanda. Putusan tersebut membatalkan Surat Dirjen Imigrasi pada DUBES RI untuk Kerajaan Belanda Nomor: IMI-UM.01,01-2579 tertanggal 18 mei 2012 mengenai diantaranya pemberian SPLP bagi WNI OTT.

Pemberian perpanjangan atau penggantian paspor tersebut adalah bukti perwujudan Negara Indonesia sesuai dengan pasal 35 PP 31 tahun 2013 untuk memberikan perlindungan identitas bagi rakyatnya di luar wilayah Indonesia. Paspor merupakan dokumen resmi sebagai identitas kewarganegaan seseorang yang diakui di seluruh dunia. Dengan menggunakan paspor, setiap WNI dapat mengidentifikasikan dirinya dan mendapat perlindungan dari Negara Indonesia dimanapun mereka berada tanpa melihat status imigrasi mereka.

Lima tahun kemudian setelah gebrakan tersebut, paspor bagi WNI OTT kembali menjadi perdebatan. Proses pergantian paspor bagi WNI OTT terasa lebih ketat lagi. Pejabat Imigrasi KBRI Belanda mengadakan wawancara khusus bagi WNI OTT yang berniat memperpanjang paspor, disamping wawancara, beberapa juga dimintakan surat pernyataan mengenai situasi dan rencana kedepan mereka. Perketatan persyaratan tersebut kemungkinan terjadi berdasarkan dikeluarkannya SE Dirjen Imigrasi Nomor IMI-0277.GR.02.06 tahun 2017 tentang Pencegahan TKI Nonprosedural. Berdasarkan SE tersebut jo. Pasal 179 (1) PP 31/2013, pejabat imigrasi dapat melakukan pengawasan imigrasi sesuai dengan Pasal 66 UU 6/2011 jo pp 31 tahun 2013 Pasal 172 (3). Pelaksanaan pengawasan itu sendiri sesuai dengan pasal 67 UU 6/2011 (1) a dan c jo. pasal 172 (3) PP No. 31/2013 jo. Pasal 176 (1) PP 31/2013.

Maka dari itu, pejabat imigrasi KBRI Belanda melakukan wawancara mendalam dan perlengkapan administrasi terhadap WNI OTT. Wawancara secara mendalam ini tidak hanya dilakukan oleh pejabat imigrasi KBRI Belanda tetapi juga dilakukan semua pejabat imigrasi di Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI) sesuai pasal 178 PP 31/2013 dan berdasarkan SE Dirjen imigrasi tersebut. Hal ini disebutkan guna menghindari terjadinya TKI Non procedural dan untuk melindungi WNI dari menjadi korban perdagangan manusia.

Meski pada akhirnya beberapa WNI OTT yang telah memenuhi persyaratan diberikan paspor baru sebagai pergantian paspor, akan tetapi terdapat beberapa WNI OTT yang mendapatkan penundaan paspor atau tidak mendapat paspor dan hanya diberikannya Surat Perjalanan Laksana Paspor atau SPLP. Kebanyakan WNI OTT yang mengalami hal ini adalah WNI OTT yang bermasalah, masuk dalam daftar pencegahan dimana mereka memiliki paspor dengan dua nama atau dengan nama palsu. Dalam hal ini dilema pemberian paspor terjadi.

Secara undang-undang, penggunaan paspor yang diduga palsu dapat dikenakan ancaman pidana selama 5 (lima) tahun dan denda 500 juta rupiah sesuai pasal 126 UU 6 tahun 2011. Hukuman pidana ini termasuk bagi semua orang meskipun sang pengguna paspor tidak tahu menahu dan tidak membuat paspor tersebut serta mendapatkan paspor melalui agen pembuat paspor. Dan apabila mereka tidak memberikan keterangan tidak benar maka juga mendapatkan ancaman hukum yang sama.

Tapi kenyataan yang terjadi dalam realitas atau lapangan tidak sekaku apa yang dinyatakan dalam undang-undang. Tidak ada orang yang berniat untuk menjadi WNI OTT dan menggunakan paspor palsu, kalau bukan karena terpaksa. WNI hingga menjadi OTT di negeri orang tentu karena memiliki alasan. Kebanyakan karena alasan mencari kerja layak, demi menerima penghasilan layak untuk kebutuhan keluarga di Indonesia. Hidup menjadi OTT pun tidak mudah. Mereka sulit mencari kerja, sulit mencari tempat tinggal, banyak menerima eksploitasi tempat kerja,atau menjadi korban penipuan, entah penipuan rumah, pengiriman uang illegal dan lain sebagainya dan yang terutama takut tertangkap oleh polisi dan dijebloskan ke detensi serta dipulangkan sewaktu-waktu. Bilapun mereka memiliki pilihan yang lebih baik seperti dapat bekerja dengan penghasilan layak di Indonesia atau dapat bekerja secara legal ke Belanda, tentunya mereka akan mengambil pilihan tersebut. Tetapi pilihan itu belum ada. Dan mereka pun sedang berusaha bersama Serikat Buruh Belanda FNV untuk mewujudkan perlindungan mereka sebagai pekerja di Belanda.

Maka, apabila pasal 126 UU 6 tahun 2011 tersebut diterapkan pada mereka, akan sangat tidak adil. Asas keadilan hukum tidak ada dalam hal ini. Apalagi diterapkan pada beberapa kawan yang hanya menerima ‘jadi’ dari sang agen tanpa mengerti apa-apa dan banyak juga yang ditipu diimingi kerja enak dan tempat tinggal. Dalam hal ini sang agenlah yang perlu ditindak dan bukan memberikan hukuman pada mereka yang butuh mengidupi keluarga.

Bagi sang pengguna, penerapan penundaan pemberian paspor pun dapat dilakukan akan dengan mencari data yang valid. Hal ini baik untuk diberikannya dokumen paspor yang sesuai dengan data asli. Negara wajib mengembalikan data asli pada WNI tersebut. Apalagi dengan penggunaan system SIMKIM, maka pemberian dokumen paspor sebaiknya disesuaikan kembali pada data asli. Pemberian SPLP dalam hal ini tidaklah tepat bagi kondisi WNI OTT tersebut di Belanda.

Kembali pada argumentasi kami 5 tahun yang lalu , SPLP diberikan hanya untuk kepulangan. Hal ini sesuai dengan UU 6 tahun 2011 pasal 1 (17) jo pasal 27 (1) PP 31 tahun 2013 jo pasal 54 PP 31 tahun 2013 jo Pasal 26 PP No.36 tahun 1994. Disebutkan juga dalam aturan Internasional mengenai SPLP atau yang secara internasional disebut sebagai Laissez Passer, dokumen pengganti paspor ini dipergunakan hanya untuk satu kali travel yang biasanya dipergunakan untuk pemulangan atau keluar dari Negara dimana ia berada saat itu.

Negara tentu ingin menertibkan warganya dalam hal penertiban pemberian paspor serta menertibkan TKI non prosedural. Tetapi apakah dengan mengambil langkah pemberian SPLP dapat menyelesaikan masalah? Apakah Negara ingin agar WNI OTT Belanda dipulangkan? Apakah Negara menggunakan pasal 126 UU 6 tahun 2011 secara rigid, menganggap WNI OTT yang datang untuk mencari nafkah sebagai kriminal dan mengaplikasikan pasal 63 PP 31 tahun 2013 serta Pasal 13 jo 17 jo 25 jo 27 Permenhukham No. 8 tahun 2014? Apakah Negara mengkriminalisasikan WNI OTT yang tidak punya pilihan hidup tersebut? WNI OTT yang bekerja keras, menghidupi keluarga dan mengirimkan uang , berkontribusi besar bagi devisa Negara ?

Karena apabila ditelaah lebih dalam pemberian SPLP ini hanya diberikan bila WNI OTT berada di suatu Negara secara illegal tanpa dilengkapi surat perjalanan RI (lihat Petunjuk Pelaksanaan Dirjen Imigrasi Nomor F-1037.IZ.03.10 tahun 1994 tentang Pelaksanaan Pemberian Surat Perjalanan Laksana Paspor poin III.A (1.b & 1.c) jo Permenhukham No. 8 tahun 2014 pasal 44.  Sedangkan WNI OTT di Belanda memiliki Paspor.  Meski secara illegal mereka berada di Belanda tetapi mereka memiliki surat perjalanan RI dan bila surat perjalanan tersebut habis masa berlakunya maka wajib diberikan paspor yang baru. Dan seperti yang disebutkan di atas apabila terdapat paspor dengan nama lain, maka dengan itikad baik Negara dapat melakukan perubahan nama dan menertibkan pembuatan paspor dengan mengembalikan ke nama asli. Hal ini sesuai dengan Pasal 24 Permenhukham No 8 tahun 2014 yang dilakukan oleh Pejabat Imigrasi.

SPLP bukanlah jalan penyelesaian bagi WNI OTT yang memiliki paspor dan tidak akan melakukan perjalanan pulang. Dengan memberikan SPLP maka Negara sendiri merugikan dirinya sendiri. SPLP tidak dapat digunakan sebagai identitas diri dalam hal pengiriman uang secara legal, maka WNI OTT terpaksa melakukan pengiriman secara illegal dan ini hanya menguntungkan oknum-oknum dan merugikan Negara Indonesia sendiri.

Negara pun dapat mereview keefektifitasan SE Dirjen 2017. Apakah benar bahwa Negara hadir sebelum keberangkatan TKI, apakah benar Negara memberikan perlindungan atas perdagangan manusia pada CTKI dengan menunda paspor dan membatalkan keberangkatan. Tahun 2017, terdapat 5960 orang yang tertunda paspornya dan 1016 orang yang ditunda keberangkatannya. Tahun 2018 (data hingga bulan September) sebanyak 4724 orang yang tertunda paspornya dan 362 orang yang ditunda keberangkatannya. Apakah dengan mereka tetap tinggal diindonesia merupakan jawaban. Termasuk dalam hal ini apabila Negara memulangkan WNI OTT dari Belanda. Apakah Negara dapat menjamin kesejahteraan mereka dengan membiarkan mereka di Indonesia. Paspor merupakan identitas Internasional, semua warga Negara berhak memilikinya , untuk melakukan perjalanan ataupun tidak. Ini merupakan hak identitas. Dengan tidak memberikan paspor, Negara ‘ memenjarakan ‘ WNI di negerinya sendiri. Hal ini bertentangan dengan hak asasi manusia dimana setiap orang berhak untuk berpergian dan berpindah. Lagi-lagi Negara dalam hal ini menggunakan kuasanya sebagai senjata bagi rakyatnya. Paspor sebagai senjata.

Dan apabila WNI OTT belum mau kembali ke Indonesia dan menolak untuk membuat SPLP, apakah Negara akan membiarkan rakyatnya menjadi stateless tanpa identitas. Dan tujuan Negara untuk melindungi tidak lagi terwujud.

Berikut di bawah ini merupakan argumentasi 5 tahun lalu yang masih berlaku apabila Negara Indonesia kembali menerapkan system SPLP bagi WNI OTT:
1.      Salah satu kerugian terbesar bagi WNI-OTT adalah sulitnya mengirimkan uang ke Indonesia dimana seperti yang telah diketahui bahwa WNI-OTT tak dapat membuka bank rekening sehingga pengiriman uang dilakukan melalui lembaga pelayanan pengiriman uang seperti GWK maupun Western Union. Adapun persyaratan GWK dan Western Union serta money transfer operator lainnya adalah dokumen identitas diri dan PASPOR adalah satu-satunya dokumen identitas WNI-OTT yang diakui secara internasional.
  1. Kesulitan pengiriman uang yang dialami WNI-OTT, mengakibatkan munculnya agen pengiriman uang illegal yang menyalahgunakan posisi sulit WNI-OTT dan sewenang-wenang memberikan pelayanan pengiriman uang dengan penetapan ongkos kirim yang menguntungkan diri sendiri dan merugikan WNI-OTT.

  2. WNI-OTT yang bekerja di Belanda mengirimkan uang hasil kerjanya layaknya TKI yang merupakan pahlawan devisa. Pengiriman uang WNI-OTT dari Belanda merupakan sumbangan dalam upaya memperbaiki perekonomian negara dan memperkuat nilai mata uang rupiah secara langsung maupun tak langsung. Pengiriman uang oleh WNI-OTT adalah wujud nyata berupa pemasukan besar bagi Negara Indonesia yang dapat  meningkatkan perputaran ekonomi dan kesejahteraan serta taraf hidup masyarakat di daerah-daerah asal WNI-OTT termasuk keluarga dan pendidikan yang pada hakekatnya merupakan tanggung jawab dan kewajiban negara. Dengan tak memberikan paspor sebagai perpanjangan paspor sehingga WNI-OTT kesulitan mengirim uang ke Indonesia, hal ini sebenarnya merugikan Negara Indonesia sendiri. Di atas itu semua, WNI-OTT layak untuk mendapatkan HAK mereka atas kontribusi besar yang telah mereka berikan untuk Negara Indonesia.

  3. Paspor merupakan identitas umum yang diakui secara Internasional. Tanpa adanya paspor dan hanya SPLP, WNI-OTT mengalami kesulitan di lapangan seperti berhadapan dengan polisi dan rumah sakit yang tak mengakui SPLP sebagai dokumen identitas resmi.

  4. Tanpa adanya paspor dan hanya SPLP, para WNI di Belanda ini dianggap tidak memiliki identitas (juga menjadi stateless) dan karena tak memiliki identitas, mereka riskan dikaitkan dengan kasus kriminal penyelundupan dan perdagangan manusia. Padahal mereka masuk ke Belanda ini secara resmi. Dengan paspor dan visa yang sah. Tanpa adanya identitas diri yang resmi (juga menjadi stateless) menyebabkan para WNI-OTT hidup dalam rasa TIDAK aman dan tenteram sesuai pasal 28(G) ayat 1 UUD 1945 dan pasal 9 jo 30 UU No.39 tahun 1999 mengenai Hak Asasi Manusia. Dan seharusnya Negara wajib untuk mewujudkan rasa aman dan tentram tersebut.

  5. Memberikan paspor sebagai perpanjangan paspor TIDAK berarti membantu pelanggaran imigrasi Belanda. Tetapi merupakan bentuk perlindungan bagi WNI-OTT yang riskan akan pelecehan, penindasan, diskriminasi dan penyiksaan serta riskan dikaitkan dalam kasus kriminalisasi.

  6. KBRI untuk Kerajaan Belanda berdalih bahwa memberikan paspor sebagai perpanjangan paspor bagi WNI-OTT merupakan salah satu bentuk pelanggaran yang menentang peraturan Belanda, Hal ini tidak berdasar (apabila berdasar pada suatu MOU atau perjanjian, maka tidak adanya transparansi mengenainya) dan sangat tidak beralasan mengingat banyaknya Kedutaan Besar lain seperti Kedutaan besar Filipina yang dapat memberikan paspor sebagai perpanjangan paspor bagi warga negara OTT-nya.
 Juga pernyataan menentang peraturan Belanda sangat tidak sesuai dengan Konstitusi Belanda itu sendiri yang menentang tindakan diskriminatif atas dasar apapun bagi SIAPAPUN yang berada di Belanda dan harus diperlakukan sama sesuai tercantum dalam pasal 1 Konstitusi Belanda yang berbunyi :

Artikel 1 Grondwet voor het Koninkrijk der Nerderlanden
Allen die zich in Nederland bevinden, worden in gelijke gevallen gelijk behandeld. Discriminatie wegens godsdients, levensovertuiging, politieke gezinheid, ras, geslacht of op welke grond dan ook, is NIET toegestaan.

8.  KBRI untuk Kerajaan Belanda membuat persyaratan pembuatan paspor yang salah satu diantaranya adalah WNI wajib menyediakan salah satu persyatan yaitu kartu tanda izin tinggal dari IND yang masih berlaku, Persyaratan ini dinilai sengaja memberatkan bagi WNI-OTT untuk mendapatkan paspor. Persyaratan permohonan pembuatan paspor Republik Indonesia bagi WNI yang tinggal di luar wilayah Indonesia adalah berupa [1] Kartu Tanda penduduk negara setempat atau bukti/ petunjuk/ keterangan lain yang menunjukkan bahwa pemohon bertempat tinggal di negara tersebut.   Argumen ini juga diperkuat dengan Petunjuk Pelaksanaan Direktur Jenderal Imigrasi Nomor: F-1037.IZ.03.10 TAHUN 1994 TENTANG PELAKSANAAN PEMBERIAN SURAT PERJALANAN LAKSANA PASPOR (SPLP) menjelaskan dalam III.B.2.a.5.b. b) Untuk Warga Negara Indonesia yang bertempat tinggal di luar negeri diisi dengan alamat yang tertera pada identity cardnya / keterangan lainnya

Pasal 50 (1) Bagi warga negara Indonesia yang berdomisili di luar Wilayah Indonesia, permohonan Paspor biasa diajukan kepada Menteri atau Pejabat Imigrasi yang ditunjuk pada Perwakilan Republik Indonesia dengan mengisi aplikasi data dan melampirkan persyaratan: a. kartu penduduk negara setempat, bukti, petunjuk, atau keterangan yang menunjukkan bahwa pemohon bertempat tinggal di negara tersebut; dan b. Paspor lama.

Maka dari itu diperlukan sekali lagi niat baik Negara dalam hal ini untuk menyelesaikan dilema dengan jernih untuk mengembalikan data-data WNI OTT korban agen pada data asli mereka dengan melakukan perubahan data yang dapat dilakukan oleh petugas imigrasi sesuai dengan permekhumham. Dan Negara wajib mengembalikan fungsi SPLP sesuai dengan peraturan perundang-undangan – hanya untuk pemulangan - dan memberikan PASPOR sebagai perpanjangan paspor bagi seluruh WNI tanpa memandang status keimigrasian mereka. 

Yasmin Soraya 

Comments