oleh Buyung Ridwan Tanjung
(Peneliti Independent dan tinggal di Belanda)
Tulisan ini pernah dimuat pada Harian SOLO POS yang terbit pada 14 Maret 2019 dan website HARIAN JOGJA
Sebuah harian di
Belanda “Parool” pada Bulan Desember lalu (1/12/2018) mengangkat sebuah liputan
yang cukup menghenyak warga Belanda yang dirasakan hingga saat ini. “Yang Illegal
di Amsterdam: kelompok orang Indonesia yang terlupakan” (IIlegal in Amsterdam: de vergeten groep Indonesiers). Dalam liputan
tersebut diungkapkan bagaimana tiga orang asal Indonesia yang harus berjuang
agar dapat bertahan hidup di Belanda. Liputan ini tidak hanya mengejutkan buat
orang Indonesia saja, namun juga buat warga Belanda itu sendiri. Karena bagi
warga Belanda yang mempekerjakan orang migran illegal akan mendapatkan sanksi
yang cukup berat. Pemberitaan ini pula, menimbulkan kecemasan tersendiri bagi
para pekerja migran asal Indonesia yang tidak berdokumen (undocumented workers) yang telah tinggal di Belanda. Meski hanya
menampilkan dua kisah namun sebenarnya mewakili ratusan orang Indonesia yang
bernasib sama di Belanda. Menjadi pertanyaan, bagaimana orang-orang Indonesia
dapat masuk dan bekerja tanpa dilengkapi
dengan visa dan ijin kerja di Belanda? Hal ini tidak mungkin terjadi, apabila
tidak ada jaringan yang secara terorganisir menipu dan memberangkatkan para
pekerja tersebut.
Eropa khususnya
Belanda, selama ini menjadi tujuan bagi pekerja migran di dunia. Tidak hanya
orang dari benua Afrika, akan tetapi juga dari Asia termasuk Indonesia. Belanda
sebagai negara yang cukup tinggi tingkat kesejahteraan penduduknya, juga dikategorikan
sebagai negara yang paling aman di Eropa. Daya tarik mata uang euro yang
mempunyai nilai lebih tinggi dari Dollar Amerika Serikat, tentu saja akan
sebanding dengan penghasilan bekerja di negara tersebut. Namun, negara ini
termasuk yang menolak pekerja migran yang tidak terampil. Para pekerja yang
diundang datang ke Belanda pun hanya mereka dengan ketrampilan tinggi (di
Belanda dikenal istilah kennismigrant) untuk bekerja di sektor formal. Mereka
diundang apabila tidak ada lagi tenaga kerja di Belanda atau Uni-Eropa yang
mengisi lowongan tersebut. Oleh karena itu, tidak ada pengiriman pekerja ke
Belanda untuk sektor informal ataupun domestik seperti pengiriman tenaga kerja
ke negara-negara timur-tengah maupun asia. Pekerja migran Indonesia yang minim
ketrampilan, kecil kesempatannya untuk bekerja disana kecuali bekerja secara
illegal.
"Istilah illegal sendiri masih didiskusikan karena tidak semua pekerja migran tersebut secara sengaja atau punya niat menjadi illegal. Banyak diantara mereka yang hadir di Belanda karena tipu-daya dan korban perdagangan manusia. Oleh karena itu, sebutan pekerja migran tak berdokumen dirasa lebih tepat."
Catatan
diskusi dari IMWU NL (Indonesian Migrant
Workers Union-The Netherlands), sebuah organisasi pekerja migran Indonesia
di Belanda, bisa dikatakan bahwa hampir tiap bulan menemui warga negara
Indonesia yang terlantar di stasiun kereta api, bandara maupun masjid di
kota-kota besar di Belanda.
Secara garis
besar, ada dua modus yang dipakai oleh para agen penyalur untuk memasukan orang
Indonesia dengan iming-iming dapat bekerja di Eropa dengan penghasilan
tinggi. Modus pertama adalah melalui
agen penyalur yang ada di Indonesia; dan modus kedua yaitu melalui undangan agen
yang ada di Belanda. Patut dicatat bahwa kedua modus illegal ini selalu melalui
agen yang sifatnya perorangan, belum pernah ditemui laporan yang menggunakan
nama perusahaan resmi.
Modus yang
pertama, melalui agen yang ada di Indonesia. Karena tipu daya pelaku yang
mengaku agen penyalur tenaga kerja, dengan uang sebesar kisaran enampuluh hingga
seratus juta rupiah, maka seseorang bisa diberangkatkan ke Belanda. Ongkos itu sudah
termasuk biaya perjalanan dan semua surat-surat. Dijanjikan pula sesampainya di
bandara akan ada orang perusahaan perantara yang akan menjemputnya. Surat-surat
yang dimaksud disini tentu saja hanya paspor dan visa kunjungan sebagai turis. Apabila
kemudian ada pertanyaan, mengapa yang diberikan hanya visa turis yang berlaku
kurang dari tiga bulan, maka agen tersebut biasanya akan menjawab; hal tersebut
lumrah terjadi karena nantinya Pemerintah Belanda akan mengeluarkan semacam
kartu ijin tinggal sekaligus ijin kerja setelah visa habis masa berlakunya.
Pada akhirnya, sesampai di bandara pesawat Schipol-Belanda,
mereka akan terlantar dan tidak ada seorangpun yang menjemput seperti yang
dijanjikan. Mereka kemudian memutuskan untuk tinggal beberapa hari di hotel
sambil berharap ada yang akan menemuinya. Namun kenyataan hingga batas waktu
visa telah habis, tidak ada seorangpun yang akan membantunya untuk mencari
pekerjaan yang diharapkan.
Modus kedua
adalah melalui undangan agen yang tinggal di Belanda. Biasanya karena cerita dari mulut ke mulut tentang
kesuksesan hidup seseorang yang tinggal di Belanda, akan menarik minat para
pencari kerja. Padahal, bisa jadi orang yang dikisahkan tersebut juga pekerja
tak berdokumen. Melalui facebook atau
kadangkala melalui kerabat yang tinggal di Indonesia, agen dari Belanda itu
akan mengarahkan untuk membuat dokumen-dokumen kunjungan ke Belanda. Atas nama sebagai kerabat keluarga
atau belas kasihan untuk membantu sesama orang daerah tertentu, agen tersebut
merekrut para korbannya. Agen di Belanda biasanya punya kaki tangan di daerah
tertentu, yang diaku sebagai kerabat. Biasanya, korban tersebut sesampainya di
Belanda akan bisa langsung bekerja di sektor informal. Minimnya informasi
tentang syarat-syarat bekerja di Belanda,
korban sebenarnya telah bekerja
secara ‘gelap’ (Zwartwerken) yang
merupakan hal yang dilarang oleh pemerintah Belanda. Gajinya pun lebih rendah
dengan resiko pekerjaan yang tinggi.
"Dua modus ini bisa dicegah dan ditindak lanjuti setidaknya dengan dua cara yang dapat dilakukan di dua negara pula, baik di Indonesia maupun di Belanda, yaitu diseminasi informasi dan penindakan hukum."
Cara pertama
adalah diseminasi informasi yang menyangkut pekerja migran serta kebijakan
perburuhan di Eropa khususnya di Belanda. Kerjasama antar instansi pemerintah dan lembaga-lembaga komunitas masyarakat
hendaknya bisa menjangkau daerah yang merupakan kantong pekerja migran di
Indonesia. Pentingnya informasi bahwa hanya pekerja migran yang berketrampilan
tinggi di sektor formal yang dapat diperkerjakan di Belanda. Cara yang kedua,
adalah melalui penindakan hukum. Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di
Belanda mempunyai Atase Kepolisian, atase ini bekerjasama dengan aparat hukum
yang ada di Indonesia dalam membongkar jaringan kejahatan ini. Informasi maupun
laporan para korban yang ada di Belanda bisa menjadi awal penegakan hukum di
tanah air. Namun demikian menjadi catatan penting bagi atase kepolisian di KBRI
untuk memiliki perspektif, bahwa para pekerja migran tak berdokumen asal
Indonesia tersebut adalah korban kejahatan para agen penyalur baik yang ada di
Indonesia maupun di Belanda.
Buyung Ridwan Tanjung
Comments
Post a Comment