Kinerja Perlindungan Buruh Migran Indonesia Dalam Teropong 4 Tahun Pemerintah Jokowi

Oleh Wahyu Susilo
(Direktur Eksekutif Migrant CARE)


(Tulisan ini adalah versi panjang dari atikel yang pernah dimuat di Koran Tempo 25 Oktober 2018)

Tepat di peringatan Hari Buruh Migran Sedunia tanggal 18 Desember 2017, Presiden Jokowi melalui akun twitter resminya @jokowi berkicau dengan optimis:
“Negara harus terus hadir utk melindungi buruh migran Indonesia. Tahun ini kita mengesahkan UU No.18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia dan menandatangani konsensus ASEAN untuk perlindungan buruh migran Indonesia. Selamat Hari Buruh Migran Sedunia, 18 Des 2017 –Jkw”

Mantra “negara hadir” yang ada di pembuka Visi-Misi Nawacita selain memiliki daya sihir yang menumbuhkan harapan akan hadirnya negara dalam perlindungan buruh migran, sekaligus juga memudahkan publik untuk mengingatkan janji “negara hadir” dalam setiap persoalan yang masih dihadapi buruh migran Indonesia di sepanjang masa pemerintahan Presiden Jokowi.

Harus diakui, hingga menuju empat tahun ke empat masa pemerintahan Presiden Jokowi, pilar regulasi perlindungan buruh migran Indonesia sudah memberikan pondasi yang kuat untuk memastikan kehadiran negara dalam memberikan perlindungan terhadap buruh migran Indonesia. Pilar tersebut adalah pembentukan UU No. 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia yang merupakan hasil perombakan total dari UU No. 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Ke Luar Negeri. Seperti yang tercantum dalam uraian visi-misi Nawacita dan RPJMN 2015-2019, pembentukan UU baru yang memberi landasan kuat kehadiran negara dalam perlindungan buruh migran memang menjadi salah satu langkah yang harus dilalui.

Di tingkat ASEAN, pemerintah Indonesia selain telah meratifikasi Konvensi ASEAN untuk Melawan Perdagangan Manusia (Terutama Perempuan dan Anak) melalui UU No. 12/2017, juga menjadi promotor aktif pembentukan ASEAN Consensus on Protection and Promotion the Rights of Migrant Workers yang akhirnya disepakati seluruh negara anggota ASEAN dan ditandatangani pada akhir November 2017 di ASEAN Summit Manila.

Namun demikian, pilar regulasi ini tentu belum seketika merubah watak dan paradigma tata kelola buruh migran yang selama lebih dari empat puluh tahun didominasi oleh sektor swasta yang mengambil keuntungan besar dari pemanfaatan perekrutan dan pengiriman buruh migran dan hanya menempatkan negara sebagai tukang stempel tanda terima proses perekrutan dan pemberangkatan buruh migran.

Sepanjang empat tahun pemerintahan Presiden Jokowi, kehadiran negara dalam perlindungan buruh migran baru ditandai dengan pembentukan layanan langsung, misalnya Portal Perlindungan WNI atau juga SMSblast yang dijalankan oleh setiap Perwakilan RI di luar negeri serta penghapusan Terminal Khusus TKI di Bandara Soekarno Hatta namun penyelenggaraan tata kelola migrasi tenaga kerja yang berbasis perlindungan HAM serta beroperasi sebagai pelayanan publik negara masih membutuhkan waktu yang lama dan kemauan politik yang serius.

Peralihan tanggungjawab pengelolaan asuransi dan jaminan pertanggungan buruh migran Indonesia yang sebelumnya dikelola sektor swasta melalui Konsorsium Asuransi TKI ke BPJS Ketenagakerjaan adalah langkah yang patut diapresisasi. Namun demikian, kebijakan yang dituangkan dalam Permenaker No. 7 /2017 harus segera diperbarui menyesuaikan dengan regulasi baru UU No. 18/2017 dan perluasan cakupan perlindungan terhadap buruh migran Indonesia. Dalam skema lama asuransi perlindungan buruh migran bisa mengcover 13 masalah yang dihadapi buruh migran, namun dalam Permenaker No. 7/2017 ini hanya bisa mengcover 5 jenis masalah. Oleh karena itu, perubahan Permenaker Jaminan Sosial Buruh Migran Indonesia ini harus segera dilakukan dan diusulkan pula adanya skema Penerima Bantuan Iuran untuk buruh migran di sector-sektor rentan, seperti yang bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga.

Pemerintahan Presiden Jokowi juga pernah keliru mewacanakan penghapusan penempatan buruh migran Indonesia di sektor pekerja rumah tangga atas nama martabat dan harga diri bangsa. Sesat pikir ini selain terkonstruksi cara pandang patriarkis yang meremehkan pekerjaan di sektor domestik, juga dianggap menghalangi hak perempuan untuk bekerja dan bermigrasi. Pengalaman penghentian permanen penempatan buruh migran di sektor pekerja rumah tangga ke Timur Tengah sejak tahun 2015, malah memunculkan fenomena penempatan non procedural ke Timur Tengah yang rentan akan terjadinya praktek perdagangan manusia.

Dalam laporan kinerja 4 tahun pemerintah Presiden Jokowi, salah satu ukuran keberhasilannya adalah langkah pembebasan 443 buruh migran dari ancaman hukuman mati. Keberhasilan ini tentu patut diapresiasi, namun demikian masalah buruh migran Indonesia yang terancam hukuman mati tetap menjadi sorotan publik bahkan menjadi salah satu ukuran keberhasilan/kegagalan pemerintah Indonesia dalam memberikan perlindungan buruh migran Indonesia. Di sepanjang masa pemerintahan Presiden Jokowi, sudah berlangsung 3 kali eksekusi mati terhadap buruh migran Indonesia di Saudi Arabia, yaitu Siti Zaenab, Karni (keduanya di tahun 2015) dan Zaini Misrin (di tahun 2018). Indonesia menghadapi dilema dalam diplomasi pembebasan buruh migran dari hukuman mati karena secara internal, pemerintahan Presiden Jokowi masih menerapkan hukuman mati dalam penerapan hukum pidana di Indonesia. Seharusnya Indonesia harus memiliki roadmap untuk menghapus penerapan hukuman mati. Indonesia diuntungkan oleh langkah Malaysia yang akan menghapus penerapan hukuman mati, karena hingga saat ini tercatat 117 buruh migran Indonesia di Malaysia divonis dan menghadapi pengadilan dengan hukuman maksimal hukuman mati.

Hal yang positif terjadi di masa pemerintahan Presiden Jokowi adalah bermunculannya inisiatif perlindungan buruh migran pada tingkat lokal, baik di kabupaten/kota bahkan menukik hingga ke desa. Inisiatif ini akhirnya juga terakomodasi dalam pasal-pasal di UU No.18/2017 yang memberi mandat kepada pemerintah lokal menjalankan tata kelola perlindungan buruh migran Indonesia. Namun demikian, hingga saat ini inisiatif ini belum mendapat respons yang signifikan dari pemerintah pusat. Adanya rencana Kementerian Ketenagakerjaan RI membuka opsi Penempatan TKI ke Timur Tengah melalui Mekanisme Satu Channel, memperlihatkan masih kuatnya kecenderungan adanya monopoli penempatan melalui Perusahaan Pengerah Swasta yang terbukti ugal-ugalan dalam menjalankan usahnya. Inisiatif Migrant CARE yang mendorong adanya Desa Peduli Buruh Migran (DESBUMI) dan direplikasi Kemenaker melalui Desmigratif (Desa Migran Produktif) adalah hal yang menggembirakan, namun demikian langkah replikasi ini patut dipertanyakan kesinambungannya karena sifatnya masih pilot project dan belum masuk nomenklatur penganggaran rutin di APBN.

Yang terakhir, pemerintahan Presiden Jokowi terlihat tidak terlalu aktif dalam mensinergikan agenda perlindungan buruh migran Indonesia dalam forum-forum multilateral. Di bulan September 2017, Indonesia memang hadir dan memberikan laporan perdana sebagai negara pihak Konvensi Perlindungan Buruh Migran, namun dalam inisiatif-inisiatif berikutnya misalnya tentang A Call to Action to End Forced Labour, Modern Slavery and Human Trafficking yang diajukan oleh Inggris dan didukung 61 negara, Indonesia tidak masuk didalamnya. Putaran diskusi mengenai UN Global Compact for Safe, Orderly and Regular Migration juga tidak menampakkan kontribusi signifikan dari Indonesia. Yang terakhir di dalam Annual Meeting IMF-World Bank, agenda terkait tata kelola remitansi yang menjadi perhatian lembaga keuangan internasional ini juga tidak dibicarakan secara signifikan.  

Comments